Archive for Desember 2016
Arti Mori Dalam Pengesahan Psht

Mori dalam SH Terate adalah lambang,tanda,bendera, yang menyatakan bahwa pemilik dari mori tersebut adalah warga Setia Hati Terate yang sah / yang sudah disahkan.
Mori berwarna putih melambangkan kesucian hati, dalam arti selalu berbuat kebajikan, tidak mempunyai sifat tercela, dan tidak mau pemiliki barang-barang-barang yang tidak sah / bukan miliknya. Warna putih juga melambangkan kepasrahan kita kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Mengenai panjang mori sebaiknya sakdedeg sakpengawe ( dapat dilebihi sedikit ) ini juga suatu lambang bahwa hendaknya cita-cita/kemauan kita harus diukur dengan kemampuan yang ada.
Mori harus disimpan di tempat yang bersih, rapi dan mudah dilihat, ini agar kita selalu teringat dan merasa terpanggil untuk berbuat baik dan berbudi luhur,Mori juga sebagai pengingat bahwa kita manusia pasti akan mengalami kematian.
banyak yg slh arti & penafsiran,banyak warga /KADHANG SETIA HATI(khususnya yg baru di kecer)yg
menganggap bahwa MORI adl semacam benda pusaka yg di kultuskan/di keramatkan,kadang ada yg menganggap bahwa MORI mempunyai yoni/ada penunggunya,saya tersenyum melihat & mendengar pernyataan ini,,,mari kita bahas bersama !!!
sebenarnya untuk apa kita di beri MORI saat kita di sahkan?Jwbannya singkat saja,untuk mengingatkan kita pada kematian,MORI bukan benda pusaka yg kita agungkan,mori pada intinya adalah sebagai sarana untuk selalu mengingat pada kematian.
Ada yg blg seperti ini
,” MORI JGN SAMPAI KENA
SINAR MATAHARI NANTI PENUNGGUNYA
PERGI,MORI JGN DI CUCI PAKAI SABUN NANTI
PENUNGGU MORI BS NGAMUK,MORI JGN DI
PERAS WAKTU NYUCI NANTI BADAN KITA BS
SKIT SEMUA KARENA KWALAT “
Pernyataan seperti itu sering sekali kita dengar dan jika kita memegang teguh pda pernyataan di atas,maka kita akan mencetak generasi pendekar SETIA HATI yg GOBLOK knp saya bilang seperti itu,krna kita terlalu fanatik pada suatu cerita yang belum tentu kebenarannya.skrg kita bahas satu persatu…
Kenapa mori tdk boleh di jemur di terik matahari?Sebenarnya bukan karena takut penunggunya kabur,tetapi yang di kwatir kain mori menjadi tipis & kaku,siapa bilang mori tidak boleh kena sinar matahari?di kwatirkan jika sering kena sinar matahari kain mori akan cepat rusak
Kenapa MORI tdk boleh di cuci memakai diterjen?Itu karena bisa membuat Mori menjadi kusam warnanya(bludak),mori akan pudar menjadi agak kekuningan,yang lebih parah lagi mori akan rusak.
Kenapa mencuci Mori tdk boleh diperes/diuntir?Sama jawabannya,kalau kita memeras kain terlalu keras maka kain itu akan sobek & terkoyak,perbolehkan saja kita seenaknya mencuci mori(disamakan dengan mencuci baju),tetapi alangkah lebih baiknya kita gunakan cara yg baik & Agar Tidak merusak mori kita.
<em>Apakah mencuci mori harus setahun sekali & dilaksanakan pada bulan Muharam(suro) saja? Ini yg kadang membuat org seakan-akan harus mencuci mori pada bulan muharram,sebenanrnya ini salah kaprah,kenapa saya bilang salah,karena jika Mori terlalu sering dicuci sebenarnya akan semakin kotor dikarenakan getah dari bunga(kembang setaman)
,mori juga rapuh,tipis,& cepat sobek.maka sebaiknya mencuci mori klo sedang kotor saja & perlu diingat MENCUCI MORI BOLEH DI LAKSANAKAN PADA BULAN APA SAJA,BKAN HANYA BULAN SURO
.
Demikian penjelasan singkat mengenai mori pengesahan warga setia hati terate, semoga pengertian ini dapat diterima dengan baik dan tidak menimbulkan pandangan negative bagi orang yang kurang mengerti arti mori pengesahan tersebut.
Wassalam
ARTI MORI DALAM PSHT
HITAM SAKRAL
PADA SETIAP SERAGAM SH TERATE
Pada hakikatnya, hitam yang ada di setiap baju kadang SH TERATE tidak terlepas dari gelapnya dunia tempat dimana setiap manusia berpijak dan berhenti hanya untuk mampir ngombe. Jika masih saja seseorang yang tidak merasa sadar akan tempatnya dimana ia sedang berdiri sekarang,dimana sebenarnya bayangan semu dan fana selalu menghiasi bumi yang setiap saat akan antarkan kita kedalam kubur yang gelap gulita. Hanya jika kita mampu mengenal arti jati diri yang kekal abadi, mengenal diri sendiri yang mampu sibakkan sedikit cahaya untuk menerangi hati nurani yang lumpuh karena kenistaan yang tiada henti.
saudara-saudaraku,
betapa indah jika kita mampu sedikit menjelaskan arti kesabaran yang kekal, tidak mengharap apapun kecuali ridha Allah swt. sesungguhnya jiwa TERATE sejati adalah jiwa-jiwa yang mampu mengendalikan hawa nafsu, mampu untuk melawan kemungkaran, dan mampu berpegang teguh pada prinsip kehidupan yang luhur.
marilah kita bersama duduk bersila, kita singkirkan sedikit-demi sedikit ego yang selalu mengedepankan kemungkaran. Cobalah untuk selalu membuang jauh" sifat angkuh dan gemar menonjolkan "aku" nya masing-masing, bahwasanya SH TERATE tidak mengenal tua, muda, laki-laki, maupun perempuan. Semua sama dihadapan yang Kuasa, karena itulah SH TERATE selalu menjadi kebanggan kita semua.
ARTI SAKRAL PSHT
A. Filosofi pemakaian sabuk PSHT disebelah perut kiri
Sudah menjadi suatu hal yang lumrah jika sesuatu dalam tubuh manusia, (jawa, indonesia=islam) bahwa kanan adalah yang lebih utama dalam melakukan hal apapun dari pada bagian tubuh sebelah kiri (dinomor 1 kan).
Sabuk silat dalam PSHT sendiri melambangkan kegagahan dan kemegahan dalam pencak silat yang menunjukkan tingkatan ilmu beladiri yang telah di kuasai dan didalami oleh seorang anggota PSHT tersebut, jadi makna pemakaian sabuk PSHT ditubuh sebelah kiri itu ialah bahwa orang Terate itu dituntut agar dalam kehidupan sehari-hari, baik di kala sedang mengalami permasalahan maupun pergaulan dalam masyarakat di harapkan selalu mendahulukan kesabaran, fikiran jernih dan perdamaian (kanan nomor satu/dahulu) dari pada menggunakan keahlian dan kebisaan berupa ilmu beladiri, walaupun orang PSHT mahir dalam beladiri, namun beladiri itu sendiri harus digunakan sebagai pilihan terakhir sehingga kita tidak di perkenankan untuk bertindak gegabah, main jotos/main tangan, sebentar-sebentar berkelahi dan tidak menunjukkan pengetahuan silat PSHT di sembarang keadaan.
B. Filosofi makna ayam jago/jantan dalam Persaudaraan Setia Hati Terate
Ayam jago merupakan simbol suatu petarung yang sejati, tidak pernah mundur dalam setiap pertempuran, berani melawan musuh walaupun hanya seorang diri dan sekali bertarung tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan.
Maknanya ialah bahwa orang/warga PSHT harus menjadi manusia yang kesatria, gagah berani melawan kebatilan, dan kalau memang dalam keadaan benar dan jika terpaksa harus membela diri dan terpaksa harus bertarung, maka orang PSHT dengan jiwa kesatria harus bertempur tanpa mundur sampai titik darah penghabisan (ngeluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake). Orang PSHT pantang main keroyokan dan pantang mundur dalam pertarungan,(jiwa kesatria adalah harga mati).
C. Filosofi Tingkatan Sabuk dalam Persudaraan Setia Hati Terate-
1) Sabuk polos/hitam
Sabuk polos atau hitam, secara mendasar mengandung arti bahwa siswa yang berada di tingkat polos adalah siswa yang masih buta atau tidak mengetahui dengan baik organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate. Ibarat sebuah besi yang baru akan dibakar sebelum ditempa mejadi sebuah pedang, Warna hitam menunjukkan warna dasar dari pakaian SH Terate sehingga warna sabuk polos dapat berarti juga siswa polos adalah siswa yg baru belajar dan baru mengenal Persaudaraan Setia Hati Terate dan tidak boleh ditunjukan kepada orang lain.
2) Sabuk jambon/ merah muda
Sabuk jambon atau merah muda, secara mendasar mengandung maksud bahwa siswa jambon adalah siswa yg mulai mengenal SH Terate dan mengenal arah yg benar. Ibarat besi yang sudah terbakar me merah menunggu untuk ditempa, sebagai penentuan untuk menjadi apa besi tersebut, sehingga siswa jambon merupakan penentuan apakah dengan ilmu yang baru sampai jambon tersebut dia masih akan tetap ikut dan melanjutkan belajar di psht atau memilih merasa puas dan keluar dari latihan, Warna jambon atau merah muda mengandung arti warna keragu-raguan/labil, jadi sifat labil selalu ada di siswa tingkatan jambon. Dalam berbagai sumber, jambon juga mengandung maksud adalah sifat matahari yg terbit atau sifat matahari yg terbenam, yaitu sifat yg mulai mengarah ke suatu kepastian tetapi masih dalam taraf mengantung dan belum tetap wataknya.
3) Sabuk ijo/hijau
Sabuk hijau mengandung maksud bahwa siswa hijau adalah siswa yg sudah mantap/tenang hatinya. Warna hijau mengandung arti warna keadilan dan keteguhan dalam menjalani sesuatu. Ibarat besi yang telah ditempa dan proses pembentukan jati diri, sehingga telah yakin akan kemana dan menjadi apa dirinya, Sifat inilah yg di harapkan terbentuk pada siswa hijau, dimana siswa tersebut maupun berbuat adil, mulai dididik untuk madep, karep, mantep, dengan mengutamakan ajaran SH Terate.
4) Sabuk putih
Sabuk putih atau putih kecil adalah tingkatan siswa yg terakhir dalam latihan Persaudaraan Setia Hati Terate. Sabuk putih berarti bahwa seseorang yang telah mencapai tingkatan ini adalah orang yang telah mengerti arah yang tujuan sebenarnya dan telah mengetahui perbedaan antara benar dan salah. Ibarat sebuah besi yang telah dibakar, ditempa dan didinginkan (dimantapkan), lalu di asah sedemikian rupa sehingga menjadi sebilah pedang yang hampir siap digunakan, Pada tingkatan ini, seorang siswa akan menamatkan pelajaran SH Terate baik pelajaran olah kanuragan (beladiri) maupun pelajaran kerohanian/ke-SH-an.
Warna putih melambangkan kesucian, oleh karena itu sifat dan watak yg diharapkan dari siswa tingkat putih adalah siswa tersebut dapat bertindak berdasarkan prinsip kebenaran, dan bersikap tenang seperti air yang mengalir. Dalam suatu pepatah SH Terate disebutkan "tiniti liring, tindak ing ati".
5) Putih besar atau Mori
Pada tingkatan sabuk putih yang terakhir inilah siswa PSHT telah menamatkan kewajiban belajar, baik olah kanuragan (beladiri) maupun kerohanian/ke-SH-an, ibarat besi yang telah dibakar, ditempa dan di asah sehingga menjadi sebuah pedang yang sempurna dan siap digunakan, seorang warga PSHT telah mewarisi sebagian besar ajaran dan ilmu PSHT, secara penuh telah menjadi sedulur tunggal kecer untuk selama-lamanya, sudah tahu yang mana yang benar, dan mana yang salah, bertindak berdasarkan kesucian hati, trampil dalam bela diri, mahir dalam mengamalkan ajaran-ajaran PSHT.
Mori, leluhur pendiri PSHT mengatakan ‘’perkoro liMO ojo nganti keRI’’
Maksudnya adalah, seorang yang sudah disah kan menjadi warga PSHT itu tidak boleh meninggalkan lima perkara, yaitu sholat wajib lima waktu sebagai kewajiban yang mutlak dikerjakan, lambang kain mori sebagai sabuk tingkat warga PSHT bermakna bahwa manusia hidup itu hanya sementara, setelah melalui proses kehidupan semua manusia bakalan mati, maka dalam jiwa warga PSHT ditanamkan bahwa mati adalah suatu yang lumrah bagi manusia, maka jika telah menyandang gelar warga Terate, kapanpun dan dimana pun harus senantiasa ingat mati dan tidak perlu takut akan kematian, warga Terate telah dibekali sabuk mori/kain kafan sebagai simbol kepasrahan kepada Allah SWT jika sewaktu-waktu sang Khalik memanggil.
Setinggi apapun ilmu seseorang, sebanyak apapun harta seseorang, jika sudah waktunya akan tetap mati dan kembali menjadi gundukkan tanah, saat itulah manusia secara ragawi hanya membawa seikat kain mori, maka saat itulah puncak dari tujuan belajar beladiri dan kerohanian di PSHT bukanlah untuk menjadi orang yang sakti pandai berkelahi, bukan juga untuk mencari sebanyak-banyak saudara, melainkan untuk menjadi seorang kesatria yang waktu selalu siap dipanggil Allah SWT untuk menghadap ke singgasana Tuhan umat manusia.
Sudah menjadi suatu hal yang lumrah jika sesuatu dalam tubuh manusia, (jawa, indonesia=islam) bahwa kanan adalah yang lebih utama dalam melakukan hal apapun dari pada bagian tubuh sebelah kiri (dinomor 1 kan).
Sabuk silat dalam PSHT sendiri melambangkan kegagahan dan kemegahan dalam pencak silat yang menunjukkan tingkatan ilmu beladiri yang telah di kuasai dan didalami oleh seorang anggota PSHT tersebut, jadi makna pemakaian sabuk PSHT ditubuh sebelah kiri itu ialah bahwa orang Terate itu dituntut agar dalam kehidupan sehari-hari, baik di kala sedang mengalami permasalahan maupun pergaulan dalam masyarakat di harapkan selalu mendahulukan kesabaran, fikiran jernih dan perdamaian (kanan nomor satu/dahulu) dari pada menggunakan keahlian dan kebisaan berupa ilmu beladiri, walaupun orang PSHT mahir dalam beladiri, namun beladiri itu sendiri harus digunakan sebagai pilihan terakhir sehingga kita tidak di perkenankan untuk bertindak gegabah, main jotos/main tangan, sebentar-sebentar berkelahi dan tidak menunjukkan pengetahuan silat PSHT di sembarang keadaan.
B. Filosofi makna ayam jago/jantan dalam Persaudaraan Setia Hati Terate
Ayam jago merupakan simbol suatu petarung yang sejati, tidak pernah mundur dalam setiap pertempuran, berani melawan musuh walaupun hanya seorang diri dan sekali bertarung tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan.
Maknanya ialah bahwa orang/warga PSHT harus menjadi manusia yang kesatria, gagah berani melawan kebatilan, dan kalau memang dalam keadaan benar dan jika terpaksa harus membela diri dan terpaksa harus bertarung, maka orang PSHT dengan jiwa kesatria harus bertempur tanpa mundur sampai titik darah penghabisan (ngeluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake). Orang PSHT pantang main keroyokan dan pantang mundur dalam pertarungan,(jiwa kesatria adalah harga mati).
C. Filosofi Tingkatan Sabuk dalam Persudaraan Setia Hati Terate-
1) Sabuk polos/hitam
Sabuk polos atau hitam, secara mendasar mengandung arti bahwa siswa yang berada di tingkat polos adalah siswa yang masih buta atau tidak mengetahui dengan baik organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate. Ibarat sebuah besi yang baru akan dibakar sebelum ditempa mejadi sebuah pedang, Warna hitam menunjukkan warna dasar dari pakaian SH Terate sehingga warna sabuk polos dapat berarti juga siswa polos adalah siswa yg baru belajar dan baru mengenal Persaudaraan Setia Hati Terate dan tidak boleh ditunjukan kepada orang lain.
2) Sabuk jambon/ merah muda
Sabuk jambon atau merah muda, secara mendasar mengandung maksud bahwa siswa jambon adalah siswa yg mulai mengenal SH Terate dan mengenal arah yg benar. Ibarat besi yang sudah terbakar me merah menunggu untuk ditempa, sebagai penentuan untuk menjadi apa besi tersebut, sehingga siswa jambon merupakan penentuan apakah dengan ilmu yang baru sampai jambon tersebut dia masih akan tetap ikut dan melanjutkan belajar di psht atau memilih merasa puas dan keluar dari latihan, Warna jambon atau merah muda mengandung arti warna keragu-raguan/labil, jadi sifat labil selalu ada di siswa tingkatan jambon. Dalam berbagai sumber, jambon juga mengandung maksud adalah sifat matahari yg terbit atau sifat matahari yg terbenam, yaitu sifat yg mulai mengarah ke suatu kepastian tetapi masih dalam taraf mengantung dan belum tetap wataknya.
3) Sabuk ijo/hijau
Sabuk hijau mengandung maksud bahwa siswa hijau adalah siswa yg sudah mantap/tenang hatinya. Warna hijau mengandung arti warna keadilan dan keteguhan dalam menjalani sesuatu. Ibarat besi yang telah ditempa dan proses pembentukan jati diri, sehingga telah yakin akan kemana dan menjadi apa dirinya, Sifat inilah yg di harapkan terbentuk pada siswa hijau, dimana siswa tersebut maupun berbuat adil, mulai dididik untuk madep, karep, mantep, dengan mengutamakan ajaran SH Terate.
4) Sabuk putih
Sabuk putih atau putih kecil adalah tingkatan siswa yg terakhir dalam latihan Persaudaraan Setia Hati Terate. Sabuk putih berarti bahwa seseorang yang telah mencapai tingkatan ini adalah orang yang telah mengerti arah yang tujuan sebenarnya dan telah mengetahui perbedaan antara benar dan salah. Ibarat sebuah besi yang telah dibakar, ditempa dan didinginkan (dimantapkan), lalu di asah sedemikian rupa sehingga menjadi sebilah pedang yang hampir siap digunakan, Pada tingkatan ini, seorang siswa akan menamatkan pelajaran SH Terate baik pelajaran olah kanuragan (beladiri) maupun pelajaran kerohanian/ke-SH-an.
Warna putih melambangkan kesucian, oleh karena itu sifat dan watak yg diharapkan dari siswa tingkat putih adalah siswa tersebut dapat bertindak berdasarkan prinsip kebenaran, dan bersikap tenang seperti air yang mengalir. Dalam suatu pepatah SH Terate disebutkan "tiniti liring, tindak ing ati".
5) Putih besar atau Mori
Pada tingkatan sabuk putih yang terakhir inilah siswa PSHT telah menamatkan kewajiban belajar, baik olah kanuragan (beladiri) maupun kerohanian/ke-SH-an, ibarat besi yang telah dibakar, ditempa dan di asah sehingga menjadi sebuah pedang yang sempurna dan siap digunakan, seorang warga PSHT telah mewarisi sebagian besar ajaran dan ilmu PSHT, secara penuh telah menjadi sedulur tunggal kecer untuk selama-lamanya, sudah tahu yang mana yang benar, dan mana yang salah, bertindak berdasarkan kesucian hati, trampil dalam bela diri, mahir dalam mengamalkan ajaran-ajaran PSHT.
Mori, leluhur pendiri PSHT mengatakan ‘’perkoro liMO ojo nganti keRI’’
Maksudnya adalah, seorang yang sudah disah kan menjadi warga PSHT itu tidak boleh meninggalkan lima perkara, yaitu sholat wajib lima waktu sebagai kewajiban yang mutlak dikerjakan, lambang kain mori sebagai sabuk tingkat warga PSHT bermakna bahwa manusia hidup itu hanya sementara, setelah melalui proses kehidupan semua manusia bakalan mati, maka dalam jiwa warga PSHT ditanamkan bahwa mati adalah suatu yang lumrah bagi manusia, maka jika telah menyandang gelar warga Terate, kapanpun dan dimana pun harus senantiasa ingat mati dan tidak perlu takut akan kematian, warga Terate telah dibekali sabuk mori/kain kafan sebagai simbol kepasrahan kepada Allah SWT jika sewaktu-waktu sang Khalik memanggil.
Setinggi apapun ilmu seseorang, sebanyak apapun harta seseorang, jika sudah waktunya akan tetap mati dan kembali menjadi gundukkan tanah, saat itulah manusia secara ragawi hanya membawa seikat kain mori, maka saat itulah puncak dari tujuan belajar beladiri dan kerohanian di PSHT bukanlah untuk menjadi orang yang sakti pandai berkelahi, bukan juga untuk mencari sebanyak-banyak saudara, melainkan untuk menjadi seorang kesatria yang waktu selalu siap dipanggil Allah SWT untuk menghadap ke singgasana Tuhan umat manusia.
KE SH AN
Manusia dapat dihancurkan
Manusia dapat dimatikan
akan tetapi manusia tidak dapat dikalahkan
selama manusia itu setia pada hatinya
atau ber-SH pada dirinya sendiri
Falsafah Persaudaraan Setia Hati Terate itu ternyata sampai sekarang tetap bergaung dan berhasil melambungkan PSHT sebagai sebuah organisasi yang berpangkal pada “persaudaraan” yang kekal dan abadi.
Adalah Ki Hadjar Hardjo Oetomo, lelaki kelahiran Madiun pada tahun 1890. Karena ketekunannya mengabdi pada gurunya, yakni Ki Ngabehi Soerodiwiryo, terakhir ia pun mendapatkan kasih berlebih dan berhasil menguasai hampir seluruh ilmu sang guru hingga ia berhak menyandang predikat pendekar tingkat III dalam tataran ilmu Setia Hati (SH). Itu terjadi di desa Winongo saat bangsa Belanda mencengkeramkan kuku jajahannya di Indonesia.
Sebagai seorang pendekar, Ki Hadjar Hardjo Oetomo pun berkeinginan luhur untuk mendarmakan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Untuk kebaikan sesama. Untuk keselamatan sesama. Untuk keselamatan dunia. Tapi jalan yang dirintis ternyata tidak semulus harapannya. Jalan itu berkelok penuh dengan aral rintangan. Terlebih saat itu jaman penjajahan. Ya, sampai Ki Hadjar sendiri terpaksa harus magang menjadi guru pada sekolah dasar di benteng Madiun, sesuai beliau menamatkan bangku sekolahnya. Tidak betah menjadi guru, Ki Hadjar beralih profesi sebagai Leerling Reambate di SS (PJKA/Kereta Api Indonesia saat ini – red) Bondowoso, Panarukan, dan Tapen.
Memasuki tahun 1906 terdorong oleh semangat pemberontakannya terhadap Negara Belanda – karena atasan beliau saat itu banyak yang asli Belanda -, Ki Hadjar keluar lagi dan melamar jadi mantri di pasar Spoor Madiun. Empat bulan berikutnya ia ditempatkan di Mlilir dan berhasil diangkat menjadi Ajund Opsioner pasar Mlilir, Dolopo, Uteran dan Pagotan.
Tapi lagi-lagi Ki Hadjar didera oleh semangat berontakannya. Menginjak tahun 1916 ia beralih profesi lagi dan bekerja di Pabrik gula Rejo Agung Madiun. Disinipun Ki Hadjar hanya betah untuk sementara waktu. Tahun 1917 ia keluar lagi dan bekerja di rumah gadai, hingga beliau bertemu dengan seorang tetua dari Tuban yang kemudian memberi pekerjaan kepadanya di stasion Madiun sebagai pekerja harian.
Dalam catatan acak yang berhasil dihimpun, di tempat barunya ini Ki Hadjar berhasil mendirikan perkumpulan “Harta Jaya” semacam perkumpulan koperasi guna melindungi kaumnya dari tindasan lintah darat. Tidak lama kemudian ketika VSTP (Persatuan Pegawai Kereta Api) lahir, nasib membawanya ke arah keberuntungan dan beliau diangkat menjadi Hoof Komisaris Madiun.
Senada dengan kedudukan yang disandangnya, kehidupannya pun bertambah membaik. Waktunya tidak sesempit seperti dulu-dulu lagi, saat beliau belum mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Dalam kesenggangan waktu yang dimiliki, Ki Hadjar berusaha menambah ilmunya dan nyantrik pada Ki Ngabehi Soerodiwiryo.
Data yang cukup bisa dipertanggungjawabkan menyebutkan dalam tahun-tahun inilah Setia Hati (SH) mulai disebut-sebut untuk mengganti nama dari sebuah perkumpulan silat yang semula bernama “Djojo Gendilo Cipto Mulyo”.
Masuk Sarikat Islam.
Memasuki tahun 1922, jiwa pemberontakan Ki Hadjar membara lagi dan beliau bergabung dengan Sarikat Islam (SI), untuk bersama-sama mengusir negara penjajah, malah beliau sendiri sempat ditunjuk sebagai pengurus. Sedangkan di waktu senggang, ia tetap mendarmakan ilmunya dan berhasil mendirikan perguruan silat yang diberi nama SH Pencak Spor Club. Tepatnya di desa Pilangbangau – Kodya Madiun Jawa Timur, kendati tidak berjalan lama karena tercium Belanda dan dibubarkan.
Namun demikian semangat Ki Hadjar bukannya nglokro (melemah), tapi malah semakin berkobar-kobar. Kebenciannya kepada negara penjajah kian hari kian bertambah. Tipu muslihatpun dijalankan. Untuk mengelabuhi Belanda, SH Pencak Sport Club yang dibubarkan Belanda, diam-diam dirintis kembali dengan siasat menghilangkan kata “Pencak” hingga tinggal “SH Sport Club”. Rupanya nasib baik berpihak kepada Ki Hadjar. Muslihat yang dijalankan berhasil, terbukti Belanda membiarkan kegiatannya itu berjalan sampai beliau berhasil melahirkan murid pertamanya yakni, Idris dari Dandang Jati Loceret Nganjuk, lalu Mujini, Jayapana dan masih banyak lagi yang tersebar sampai Kertosono, Jombang, Ngantang, Lamongan, Solo dan Yogyakarta.
Ditangkap Belanda.
Demikianlah, hingga bertambah hari, bulan dan tahun, murid-murid Ki Hadjar pun kian bertambah. Kesempatan ini digunakan oleh Ki Hadjar guna memperkokoh perlawanannya dalam menentang penjajah Belanda. Sayang, pada tahun 1925 Belanda mencium jejaknya dan Ki Hadjar Hardjo Oetomo ditangkap lalu dimasukkan dalam penjara Madiun.
Pupuskah semangat beliau ? Ternyata tidak. Bahkan semakin menggelegak. Dengan diam-diam beliau berusaha membujuk rekan senasib yang ditahan di penjara untuk mengadakan pemberontakan lagi. Sayangnya sebelum berhasil, lagi-lagi Belanda mencium gelagatnya. Untuk tindakan pengamanan, Ki Hadjar pun dipindah ke penjara Cipinang dan seterusnya dipindah di penjara Padang Panjang Sumatera. Ki Hadjar baru bisa menghirup udara kebebasan setelah lima tahun mendekam di penjara dan kembali lagi ke kampung halamannya, yakni Pilangbangau, Madiun.
Selang beberapa bulan, setelah beliau menghirup udara kebebasan dan kembali ke kampung halaman, kegiatan yang sempat macet, mulai digalakan lagi. Dengan tertatih beliau terus memacu semangat dan mengembangkan sayapnya. Memasuki tahun 1942 bertepatan dengan datangnya Jepang ke Indonesia SH Pemuda Sport Club diganti nama menjadi “SH Terate”. Konon nama ini diambil setelah Ki Hadjar mempertimbangkan inisiatif dari salah seorang muridnya Soeratno Soerengpati. Beliau merupakan salah seorang tokoh Indonesia Muda.
Selang enam tahun kemudian yaitu tahun 1948 SH Terate mulai berkembang merambah ke segenap penjuru. Ajaran SH Terate pun mulai dikenal oleh masyarakat luas. Dan jaman kesengsaraanpun sudah berganti. Proklamasi kemerdekaan RI yang dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta dalam tempo singkat telah membawa perubahan besar dalam segala aspek kehidupan. Termasuk juga didalamnya, kebebasan untuk bertindak dan berpendapat. Atas prakarsa Soetomo Mangku Negoro, Darsono, serta saudara seperguruan lainnya diadakan konferensi di Pilangbangau (di rumah Alm Ki Hadjar Hardjo Oetomo). Dari konferensi itu lahirlah ide-ide yang cukup bagus, yakni SH Terate yang semenjak berdirinya berstatus “Perguruan Pencak Silat” dirubah menjadi organisasi “Persaudaraan Setia Hati Terate”. Selanjutnya Soetomo Mangkudjajo diangkat menjadi ketuanya dan Darsono menjadi wakil ketua.
Tahun 1950, karena Soetomo Mangkudjojo pindah ke Surabaya, maka ketuanya diambil alih oleh Irsad. Pada tahun ini pula Ki Hadjar Hardjo Oetomo adalah seorang tokoh pendiri PSHT, mendapatkan pengakuan dari pemerintah Pusat dan ditetapkan sebagai “Pahlawan Perintis Kemerdekaan” atas jasa-jasa beliau dalam perjuangan menentang penjajah Belanda.
Manusia dapat dimatikan
akan tetapi manusia tidak dapat dikalahkan
selama manusia itu setia pada hatinya
atau ber-SH pada dirinya sendiri
Falsafah Persaudaraan Setia Hati Terate itu ternyata sampai sekarang tetap bergaung dan berhasil melambungkan PSHT sebagai sebuah organisasi yang berpangkal pada “persaudaraan” yang kekal dan abadi.
Adalah Ki Hadjar Hardjo Oetomo, lelaki kelahiran Madiun pada tahun 1890. Karena ketekunannya mengabdi pada gurunya, yakni Ki Ngabehi Soerodiwiryo, terakhir ia pun mendapatkan kasih berlebih dan berhasil menguasai hampir seluruh ilmu sang guru hingga ia berhak menyandang predikat pendekar tingkat III dalam tataran ilmu Setia Hati (SH). Itu terjadi di desa Winongo saat bangsa Belanda mencengkeramkan kuku jajahannya di Indonesia.
Sebagai seorang pendekar, Ki Hadjar Hardjo Oetomo pun berkeinginan luhur untuk mendarmakan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Untuk kebaikan sesama. Untuk keselamatan sesama. Untuk keselamatan dunia. Tapi jalan yang dirintis ternyata tidak semulus harapannya. Jalan itu berkelok penuh dengan aral rintangan. Terlebih saat itu jaman penjajahan. Ya, sampai Ki Hadjar sendiri terpaksa harus magang menjadi guru pada sekolah dasar di benteng Madiun, sesuai beliau menamatkan bangku sekolahnya. Tidak betah menjadi guru, Ki Hadjar beralih profesi sebagai Leerling Reambate di SS (PJKA/Kereta Api Indonesia saat ini – red) Bondowoso, Panarukan, dan Tapen.
Memasuki tahun 1906 terdorong oleh semangat pemberontakannya terhadap Negara Belanda – karena atasan beliau saat itu banyak yang asli Belanda -, Ki Hadjar keluar lagi dan melamar jadi mantri di pasar Spoor Madiun. Empat bulan berikutnya ia ditempatkan di Mlilir dan berhasil diangkat menjadi Ajund Opsioner pasar Mlilir, Dolopo, Uteran dan Pagotan.
Tapi lagi-lagi Ki Hadjar didera oleh semangat berontakannya. Menginjak tahun 1916 ia beralih profesi lagi dan bekerja di Pabrik gula Rejo Agung Madiun. Disinipun Ki Hadjar hanya betah untuk sementara waktu. Tahun 1917 ia keluar lagi dan bekerja di rumah gadai, hingga beliau bertemu dengan seorang tetua dari Tuban yang kemudian memberi pekerjaan kepadanya di stasion Madiun sebagai pekerja harian.
Dalam catatan acak yang berhasil dihimpun, di tempat barunya ini Ki Hadjar berhasil mendirikan perkumpulan “Harta Jaya” semacam perkumpulan koperasi guna melindungi kaumnya dari tindasan lintah darat. Tidak lama kemudian ketika VSTP (Persatuan Pegawai Kereta Api) lahir, nasib membawanya ke arah keberuntungan dan beliau diangkat menjadi Hoof Komisaris Madiun.
Senada dengan kedudukan yang disandangnya, kehidupannya pun bertambah membaik. Waktunya tidak sesempit seperti dulu-dulu lagi, saat beliau belum mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Dalam kesenggangan waktu yang dimiliki, Ki Hadjar berusaha menambah ilmunya dan nyantrik pada Ki Ngabehi Soerodiwiryo.
Data yang cukup bisa dipertanggungjawabkan menyebutkan dalam tahun-tahun inilah Setia Hati (SH) mulai disebut-sebut untuk mengganti nama dari sebuah perkumpulan silat yang semula bernama “Djojo Gendilo Cipto Mulyo”.
Masuk Sarikat Islam.
Memasuki tahun 1922, jiwa pemberontakan Ki Hadjar membara lagi dan beliau bergabung dengan Sarikat Islam (SI), untuk bersama-sama mengusir negara penjajah, malah beliau sendiri sempat ditunjuk sebagai pengurus. Sedangkan di waktu senggang, ia tetap mendarmakan ilmunya dan berhasil mendirikan perguruan silat yang diberi nama SH Pencak Spor Club. Tepatnya di desa Pilangbangau – Kodya Madiun Jawa Timur, kendati tidak berjalan lama karena tercium Belanda dan dibubarkan.
Namun demikian semangat Ki Hadjar bukannya nglokro (melemah), tapi malah semakin berkobar-kobar. Kebenciannya kepada negara penjajah kian hari kian bertambah. Tipu muslihatpun dijalankan. Untuk mengelabuhi Belanda, SH Pencak Sport Club yang dibubarkan Belanda, diam-diam dirintis kembali dengan siasat menghilangkan kata “Pencak” hingga tinggal “SH Sport Club”. Rupanya nasib baik berpihak kepada Ki Hadjar. Muslihat yang dijalankan berhasil, terbukti Belanda membiarkan kegiatannya itu berjalan sampai beliau berhasil melahirkan murid pertamanya yakni, Idris dari Dandang Jati Loceret Nganjuk, lalu Mujini, Jayapana dan masih banyak lagi yang tersebar sampai Kertosono, Jombang, Ngantang, Lamongan, Solo dan Yogyakarta.
Ditangkap Belanda.
Demikianlah, hingga bertambah hari, bulan dan tahun, murid-murid Ki Hadjar pun kian bertambah. Kesempatan ini digunakan oleh Ki Hadjar guna memperkokoh perlawanannya dalam menentang penjajah Belanda. Sayang, pada tahun 1925 Belanda mencium jejaknya dan Ki Hadjar Hardjo Oetomo ditangkap lalu dimasukkan dalam penjara Madiun.
Pupuskah semangat beliau ? Ternyata tidak. Bahkan semakin menggelegak. Dengan diam-diam beliau berusaha membujuk rekan senasib yang ditahan di penjara untuk mengadakan pemberontakan lagi. Sayangnya sebelum berhasil, lagi-lagi Belanda mencium gelagatnya. Untuk tindakan pengamanan, Ki Hadjar pun dipindah ke penjara Cipinang dan seterusnya dipindah di penjara Padang Panjang Sumatera. Ki Hadjar baru bisa menghirup udara kebebasan setelah lima tahun mendekam di penjara dan kembali lagi ke kampung halamannya, yakni Pilangbangau, Madiun.
Selang beberapa bulan, setelah beliau menghirup udara kebebasan dan kembali ke kampung halaman, kegiatan yang sempat macet, mulai digalakan lagi. Dengan tertatih beliau terus memacu semangat dan mengembangkan sayapnya. Memasuki tahun 1942 bertepatan dengan datangnya Jepang ke Indonesia SH Pemuda Sport Club diganti nama menjadi “SH Terate”. Konon nama ini diambil setelah Ki Hadjar mempertimbangkan inisiatif dari salah seorang muridnya Soeratno Soerengpati. Beliau merupakan salah seorang tokoh Indonesia Muda.
Selang enam tahun kemudian yaitu tahun 1948 SH Terate mulai berkembang merambah ke segenap penjuru. Ajaran SH Terate pun mulai dikenal oleh masyarakat luas. Dan jaman kesengsaraanpun sudah berganti. Proklamasi kemerdekaan RI yang dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta dalam tempo singkat telah membawa perubahan besar dalam segala aspek kehidupan. Termasuk juga didalamnya, kebebasan untuk bertindak dan berpendapat. Atas prakarsa Soetomo Mangku Negoro, Darsono, serta saudara seperguruan lainnya diadakan konferensi di Pilangbangau (di rumah Alm Ki Hadjar Hardjo Oetomo). Dari konferensi itu lahirlah ide-ide yang cukup bagus, yakni SH Terate yang semenjak berdirinya berstatus “Perguruan Pencak Silat” dirubah menjadi organisasi “Persaudaraan Setia Hati Terate”. Selanjutnya Soetomo Mangkudjajo diangkat menjadi ketuanya dan Darsono menjadi wakil ketua.
Tahun 1950, karena Soetomo Mangkudjojo pindah ke Surabaya, maka ketuanya diambil alih oleh Irsad. Pada tahun ini pula Ki Hadjar Hardjo Oetomo adalah seorang tokoh pendiri PSHT, mendapatkan pengakuan dari pemerintah Pusat dan ditetapkan sebagai “Pahlawan Perintis Kemerdekaan” atas jasa-jasa beliau dalam perjuangan menentang penjajah Belanda.